Napak Tilas Desa Bayu
Medan berat yang kami tempuh saat menuju wisata air terjun Lider membuat kami sedikit kapok untuk kembali menempuh rute yang sama, apalagi cuaca saat itu sedang hujan lebat disertai petir. Melewati jalan berbatu penuh dengan tanah liat yang basah adalah sebuah tindakan yang sedikit nekat kurasa. Akhirnya kami putuskan untuk menempuh rute lain dengan menuju kecamatan Songgon. Melewati luasnya perkebunan cengkeh dan tebu akhirnya kami sampai di rumah kawan lama di desa Sragi saat hari menjelang petang dan bersyukur Ia mengizinkan kami untuk menginap di kediamannya.
Tak terasa malam berjalan dengan cepatnya dan setelah berpamitan kami pun melanjutkan perjalanan menuju wisata sejarah Rowo Bayu yang merupakan Petilasan Prabu Tawang Alun, salah satu RajaBlambangan yang terkenal karena perang puputan bayu pada tanggal 18 Desember 1771 yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Rowo dalam bahasa Indonesia berarti “Rawa” sedangkan Bayu itu sendiri diambil dari nama desa “Bayu”, Rowo Bayu (Rawa di desa Bayu) begitulah penduduk sekitar menyebut kawasan yang dianggap sakral ini. Rawa sering diidentikkan sebagai tempat yang tidak menyenangkan dengan air yang kotor berlumut dan banyak binatang buas semacam buaya atau biawak, namun untuk rawa yang satu ini “Rowo Bayu” sepertinya ada semacam pengecualian. Sumber mata air yang jernih dan nampak asri karena dikelilingi pepohonan nan rimbun adalah gambaran awal yang kami tangkap saat kami melihat kawasan ini. Belum lagi bangunan Candi Agung “Macan Putih” dan Petilasan Prabu Tawang Alun yang berdiri kokoh di atas bukit semakin menambah nuansa sejarah nya. Salah satu juru kunciRowo Bayu menjelaskan kepada kami bahwa Prabu Tawang Alun pernah melakukan pertapaan di bawah sumber air suci “Kamulyan” hingga mendapatkan petunjuk untuk menaiki macan putih dan mengikuti perjalanan ke hutan sudhimoro seluas 4 km2 yang selanjutnya oleh beliau dijadikan keraton “Macan Putih”.
Kami semakin hanyut dalam cerita sejarah Blambangan manakala seorang budayawan yang juga seorang dokter spesialis radiologi dari Bali Bapak Pageh Badunggawa mempresentasikan hubungan Raja Jawa sampai Raja Blambangan melalui sebuah bagan silsilah raja-raja dalam kertas karton besar. Pengunjung yang sebelumnya hanya melihat dari kejauhan, akhirnya tertarik untuk ikut dalam perbincangan kami sampai diadakanlah sesi tanya jawab antara pengunjung dan Bapak Pageh Badunggawa dengan topik bahasan “Sejarah Blambangan” selama kurang lebih 1 (satu) jam lamanya dan sebagai tanda perpisahan, sebuah buku “Babad Tanah Blambangan” IKAKI Blambangan menjadi bonus untuk kami.
0 komentar "Rowo Bayu", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar